Sensasi Petualangan Watu Wa..




 
Sayang sekali, kami akhirnya membatalkan adventure menuju Air Terjun Kembar (twin waterfalls) hanya karena waktu yang terbatas. Penduduk Dusun Watu Wa memberikan solusi agar kami merubah peta perjalanan. Mereka menawarkan sebuah tempat langkah dan menantang yang katanya tak pernah didatangi manusia lain selain warga Watu Wa. Mhhh..menarik juga ya. Tawaran kami terima. Dua mobil yang di kendarai Lucky dan Refly dari MOFF (Maumere Offroad), langsung bergerak turun ke sungai. Matahari hilang ditutupi rimbunan pepohonan. Suara Burung Balam dan desiran angin pegunungan saling bergantian bercemgkarama. Penduduk dusun semakin banyak berkumpul. “Sudah dekat Mo’at...” kata Hanis, anak muda yang selalu cekatan menerobos hutan semak. Kedua mobil dari MOFF bergerak kedepan mengiringi mentari yang turun ke peraduannya. Akhirnya, hutan sungai Watu Wa membiarkan kami menikmati penat diatas batu-batu raksasa dengan pancuran air segar nan bening yang lembut menyentuh kulit ...

Lanjuttt...
Add caption
Add caption
Baru menjelang pukul 13.30 wita hari Minggu (28/08/2010) kami bergerak keluar Kota Maumere. Rileks saya menikmati perjalanan disamping Lucky yang lincah mengendarai hartop FJ40-nya. Sedang Refly bersama salah seorang temannya liar bergerak bersama Taft Kebo. Lucky dan Refly adalah bagian dari anggota Maumere Off Road (MOFF), sebuah komunitas pecinta mobil off road di Maumere. Anggota dari MOFF ini hampir medekati 30 orang dan setiap minggu memiliki jadwal rutin mencari titik-titik ekstrem alami untuk dijadikan arena offroad.

Kali ini bersama saya (Oss) dari inimaumere.com kami berkoloborasi hehehe..,bukan mau mencoba arena offroad tapi berburu air terjun kembar. Hunting ini akhirnya batal karena waktu tak memungkinkan. Dan sebagai gantinya kami merubah jalur dan mencoba sensasi lain. Yakni menapaki batu-batu raksasa yang mengeluarkan pancuran air segar alamiah nan bening. Seperti yang ditulis tadi, selain penduduk setempat, kami adalah orang pertama yang memasuki gua batu tersebut. Ini diakui penduduk setempat. Dan klimaksnya terjadi saat kami menikmati detik-detik bersatunya jiwa kami dengan alam asri Nian Sikka. Sekali lagi kami merasa beruntung.
Watu Wa adalah sebuah dusun kecil yang terletak di Desa Done dan berada diwilayah Kecamatan Magepanda. Penduduk dusun ini berjumlah hampir 200 orang. Dan mereka sebagian besar beretnis Lio sehingga bahasa yang digunakan adalah Bahasa Lio. Lio adalah salah satu etnis dari enam etnis besar yang ada di Kabupaten Sikka, Flores.
Add caption
Add caption

Menurut penduduk setempat, dalam hidup mereka baru pertama kali inilah oto (sebutan lain untuk mobil bagi orang NTT) melintasi dusunnya, maklum jalan lebar khusus mobil tak ada. Mereka sangat gembira. Dan kegembiraan itu diwujudkan dengan membantu kami secara spontan. Hampir semua penduduk dusun mengikuti kemana saja mobil bergerak. Dan yang lebih sensasional lagi, FJ40 dan Taft Kebo akhirnya memerawani daerah alamiah ini. Bukan hanya melintasi dusun tapi malah bergerak dan terus bergerak menembus hutan semak, menapaki bebatuan dan melewati perbukitan. Apa saja yang mereka punya, mereka kerahkan agar mobil yang sedang berjalan pelan bisa mulus mendekati lokasi “air terjun”.
"Baru pertama kali ini ada oto sampai masuk kedalam sini sampai menuju kali Watu Wa," ujar Hanis.

Lucky dan Refly kebut-kebutan, saling kejar diatas jalanan mulus berkelok. Pemandangan pantai disisi kanan kami adalah bonus spesial ditengah ganasnya sinar matahari.

“Biarkan Boim sendiri menikmati hidupnya karena sebentar lagi dia merid hehehe..” jelas saya pada Lucky.

Lucky merasa heran karena Boim (salah satu admin inimaumere.com) tak berangkat. Biasanya saya (Oss Rebong) dan Boim selalu kemana saja bersama jika melakoni tempat-tempat sensasional dan kalau ada waktu Lucky Reyner dan beberapa teman lain selalu setia mendampingi kami hihihi... Lagu lawas dari Tesla, Stryper dan Stone Temple Pilot bergantian menemani celoteh riang saat melintasi jalur Pantura. Sesekali ekor mata ini mengintip orang-orang yang rebah dipasir putih Kajuwulu (sepanjang jalur Pantura Flores).

Tiba-tiba sebuah mobil pick up nyolong dan menyalib kami dengan kecepatan tinggi. Hampir seluruh bak pick up penuh manusia. Anak-anak kecil berdesak-desakan dengan orang-orang dewasa. Kelihatan mereka sedang bergegas menuju tempat piknik. Maklum hari minggu adalah hari spesial buat sebagian warga Maumere. Tiba-tiba kenangan masa kecil melintas dibenak ini..cieee.

Ketika mobil bergerak, perbukitan tandus cokelat kekuningan seakan-akan mendampingi kami. Pemandangan yang sama bisa dilihat didaerah-daerah pantai utara yang hampir semua pepohonan seolah terbakar. Sangat kontras jika dibandingkan saat musim hujan.
Setelah seru kebut-kebutan, akhirnya wilayah Magepanda menyambut kedatangan kami dengan ramah. Kami langsung berbelok arah kekiri dengan tujuan lokasi air terjun. Arah ini sama atau searah menuju waduk (bendungan) Magepanda yang terkenal itu.

Dari arah pertigaan tadi, sekitar 3 km kami dihadiahi jalan beraspal mulus sebelum akhirnya kembali memasuki jalan buruk. Refly dan Lucky kembali beradu kecepatan. Debu-debu berterbangan dibelakang. Jalanan buruk tak beraspal yang cukup panjang akhirnya terputus di sungai Watu Wa yang membentang menghalangi jalan. Dan dengan jeli, pengendara mobil Refly dan Lucky akhirnya menancapkan nama mereka sebagai orang pertama yanng memasuki wilayah Dusun Watu bersama mobil off road-nya.

Mobil terus bergerak. Dusun Watu Wa menyambut kami. Saya harus menahan napas, ketika mobil yang dikendarai Lucky mulai riang menerobos medan nan buruk. Batu-batu yang menghalangi niat kami di lewati. Kadang saya berharap ada batu besar yang mengangkang sehingga mobil berhenti (dan saya bisa bernapas lega) hehehe ... Namun harapan saya hanyalah harapan semu hehehe.. mobil terus melaju. Tapi bukan melewati jalan lebar. Bukan. Tapi melewati jalan setapak. Melintasi parit tanah, membuka semak-semak dan mulai merambah hutan semak. Para penduduk desa mengiringii mobil baik dari depan, samping dan belakang. Ada yang hanya menikmati tapi banyak pula yang berjaga-jaga kalo tiba-tiba kami meminta bantuan. Gila, benar-benar keren.

Batang-batang dan ranting besar pepohonan yang seolah menghadang laju mobil dengan cepat ditebas oleh penduduk. Beberapa anak muda penuh semangat berlari cepat kedepan, membuka semak dengan parang ditangan dan berteriak, “lewat sini...awas disitu ada batu besar... ambil kanan...”. Antusias sekali.

Matahari terus turun dan bergerak perlahan kebawah. Sudah sangat sore ketika dua mobil itu berdiri dibawah tanjakan tebing. Sebenarnya bisa melintas tapi sebuah batu yang sangat besar menghadang kami. Diantara letih, kami bisa menyaksikan anak-anak desa yang cekatan menyingkirkan batu sekuat tenaga.
Karena hari sudah semakin sore. Saya dan Lucky memutuskan berjalan kaki, sedangkan Refly masih menunggu anak-anak muda menyingkirkan batu. “Tempatnya dekat, tidak jauh,” jelas Hanis. Melewati jalan setapak yang cukup jauh dengan napas dan keringat bercucuran adalah sebuah kisah yang paling unik sekaligus meletihkan. Lucky dan beberapa orang kampung sudah melesat cepat kedepan.

Diantara bunyi suara napas ini yang tersengal-sengal, teriakan ayam hutan dan koor burung-burung rimba simpatik menyambut kami. Batu-batu hitam bertebaran didalam sungai. Sungai Watu Wa mulai kami tapak. Hanis melangkah mendampingi saya. Kaki-kaki kami menari-nari dari satu batu ke batu yang lain. Kami terus bergerak keatas melewati jalur sungai. Terkadang batu-batu sebesar rumah menghadang. Terpaksa kami harus memanjatnya. Benar-benar keren sekaligus melelahkan. Jika dikreatif sedikit Pemda bisa menjadikan Watu Wa sebagai sebuah tempat eksotik bagi para petualang backpaker yang suka tantangan.

Huhhh..dengan napas ngos-ngosan kayak kuda pacuan hehehe...akhirnya kami memijakkan tapak kaki kami disebuah tempat yang asli keren abis. Body yang penat, mata yang redup, keringat yang menetes disulap menjadi segar menyegarkan. Lunas sudah semuanya. Tak sia-sia kami sampai disini. Suasana yang alamiah, eksotik dan natural menjadi sesuatu yang mahal untuk didapat. Dan kami selaksa orang yang beruntung, setiap kali menjelajahi tubuk molek Nian Sikka.

Dari sebuah ‘atap batu’ meluncurlah sekumpulan air bening yang rasanya segar dan dingin. Seperti air pancuran, seperti air terjun mini. Tempat itu dikelilingi batu-batu cadas raksasa sebesar rumah tingkat yang mengelilingi kami. Dan kami berada dibawahnya.

Menurut Hanis, sebenarnya kalau kami mau kami bisa terus naik keatas karena diatas sana ada segumpalan air yang meluncur deras dan lebih banyak dibandingkan ditempat kami berdiri. Sayang karena capek, kami tak bisa menyetujui tantangan Hanis.

Suasana ditempat ini sangat sejuk dan nyaman. Karena dikelilingin batu-batu raksasa dan pepohonan rimbun disekitarnya. Tentram banget.
“Andai tadi datang lebih awal pasti kita bisa bakar ayam hutan disini, pisang juga banyak, tinggal bakar saja..” ujar Hanis disela-sela bunyi air yang mengalir. Mmhh..selain ayam hutan dan burung hutan yang banyak berseliweran, monyet-monyet yang berakrobat dipepohonan juga menjadi atraksi lain pengiring perjalanan. ;-) Keren ya..

Detik demi detik kami terus menikmati bersatunya jiwa kami dengan alam Watu Wa. Air nan segar kami biarkan mengoles penat dan mengelupas rasa capek. Sudah semakin sore. Matahari sudah pulang. Angin dingin pegunungan sudah memberi isyarat. Tapi air terus meluncur menerjang tubuh kami yang sedang bercumbu dengan alam sekeliling. Ah, hati ini tak mau pulang sebenarnya. Tapi apa bole buat.

“Yuuuk pulangggggg.......” teriak Refly dari atas batu cadas raksasa.

Dan kami bergegas. Beberapa orang kampung turut bersama kami. Mereka siap memberi petunjuk jalan pulang. Lantas kaki-kaki ini melangkah turun dengan darah segar dan tenaga baru. Dusun Watu Wa menyambut kepulangan kami. Roda-roda mobil bergerak. Puluhan warga Dusun Watu memberi senyum dan sapaan akrab selamat tinggal. Anak-anak kecil mengejar mobil dari belakang. Orang-orang dewasa melambai-lambaikan tangan. “Jangan lupa kembali lagi yaaa.....” teriak mereka.
Yup, akhirnya kami kembali ke kota saat magrib menjemput. Meski tak berhasil menuju air terjun kembar yang tingginya menjulang dengan air deras yang meluncur kami tak perlu menyesal. Karena kami mendapatkan sensasi lain di Watu Wa. Sayang, jalan menuju ke Dusun Watu Wa buruk beberapa kilo.

Saat melintasi jalan pulang, seorang bapak memberhentikan mobil kami. Dengan semangat ia memberikan nomor ponselnya sembari mengatakan, "Saya akan menunggu kalian menghubungi saya, jika kalian ingin ke air terjun kembar." Rupanya bapak ini ingin memandu kami kesana.
Dan kami menikmati jalan pulang. Hanya satu, ingin rebah dan menikmati sebungkus kepenatan
Sumber : www.inimaumere.com



 

Surga yang terpenggal di Kota Maumere

                                       


JARUM jam baru menunjukkan angka 07.30 WITA, di awal bulan Desember lalu, ketika kami meninggalkan homestay di Kota Maumere, ibukota Kabupaten Sikka, Pulau Flores. Agenda kami hari itu adalah menuju kawasan pesisir pantai Kampung Wuring, titik untuk memulai penyelaman di beberapa titik di Teluk Maumere ini.

Kampung Wuring adalah sebuah perkampungan nelayan di pinggiran Kota Maumere, kurang lebih 5 Km dari pusat kota. Kampung yang mayoritas penghuninya adalah suku Bajo, suku yang lebih dikenal sebagai pelaut-pelaut ulung. Bahkan rumah yang dibangun pun persis di atas laut, dengan struktur yang sangat kuat. Apabila petang menjelang, air pasang datang yang ketinggiannya nyaris menyentuh lantai rumah. Sementara untuk menghubungkan rumah ke rumah, warga hanya memakai bambu 2-3 batang saja sebagai jembatannya. Apabila tak hati-hati, bisa-bisa tercebur masuk ke air laut.
Pagi itu ketika melintasi pemukiman ini, kami bertemu dengan beberapa peneliti dari Jepang dan Amerika yang kata orang-orang sekitar, mereka sedang menganalisis struktur bangunan rumah orang-orang Bajo ini. Demikian juga, kami bertemu dengan beberapa pasang turis bule yang menginap di rumah orang Bajo ini.

Entahlah sejak kapan Suku Bajo ini mendiami kawasan ini. Beberapa orang yang saya kenal hanya bercerita bahwa asal-usul suku Bajo dari Sulawesi yang semuanya adalah pelaut-pelaut ulung yang sulit jika hidup atau tinggal di gunung. Kata “bajo” sendiri berarti mendayung perahu dengan alat yang disebut bajo. Mereka bisa dikatakan telah menjadikan laut sebagai “nyawa” mereka. Mereka seolah menyatu dengan laut. Dan tak perlu heran jika anak-anak kecil usia 4-5 tahun sudah mahir berenang dan menyelam. Barangkali mereka telah “diajarkan” berenang sejak dalam kandungan ibundanya!

Di Maumere, selain di kampung Wuring, suku ini banyak ditemui di Pulau Parumaan, Kojadoi, Pemana, dan dalam komunitas kecil hampir dapat ditemui di seluruh penjuru pesisir Maumere. Ada “hal yang lain” yang saya temui pada suku ini, yaitu tentang sekolah (formal). Sekolah pada sebagian besar suku ini adalah nomor sekian. Kebanyakan orang tua suku Bajo berpikir bahwa sekolah sampai sarjana pun tidak mendapat tempat yang layak di birokrasi karena mereka menganggap diri dan atau dianggap sebagai pendatang. Itulah mungkin yang kami temui pagi itu. Anak-anak kecil di pagi hari pada jam yang seharusnya mereka bisa belajar di sekolah, masih asyik bermain-main (belajar) di pantai.

Surga yang Terpenggal

Teluk Maumere, sesungguhnya adalah sebuah pesona hamparan perairan yang menyimpan berjuta potensi hayati di dalamnya. Pinjam istilah Emha Ainun Nadjib, selaksa surga yang terpecah dan bocor ke bumi nusantara. Betapa tidak, terumbu karang yang terkandung di dalamnya menyimpan keindahan yang luar biasa meskipun pernah porak-poranda diterjang tsunami pada tahun 1992. Terumbu karang dengan segala kehidupan yang terdapat di dalamnya merupakan sumberdaya yang memiliki keanekaragaman biologis yang tinggi, pesona keindahan, dan menyediakan cadangan sumber plasma nutfah. Tak hanya itu, terumbu karang di laut ini juga menjadi “rumah” bagi beragam biota laut, termasuk ikan-ikan hias berwarna-warni yang berenang hilir mudik di antara karang di kedalaman sekitar dua hingga lima meter.

Dengan kata lain, terumbu karang di sini memiliki peranan yang sangat penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, terumbu karang merupakan tempat berbagai organisme yang berasosiasi dengannya untuk berlindung, mencari makan dan berkembang biak. Selain itu terumbu karang juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari gelombang dan abrasi.

Sedangkan fungsi ekonomisnya, terumbu karang yang indah bisa menjadi objek wisata bahari yang dapat menarik banyak wisatawan, sekaligus bisa dijadikan wilayah tangkapan ikan yang potensial bagi para nelayan.

Namun sayangnya, yang kami temui di bawah laut Teluk Maumere ini tidak semua terumbu karang berada dalam kondisi yang baik. Beberapa di antaranya tampak kritis, terpenggal, hancur berkeping-keping. Entah apa penyebab utamanya. Bisa jadi gempa dan gelombang tsunami besar yang terjadi pada tahun 1992 lalu menjadi penyebabnya. Namun dari pengamatan sekilas kami, sepertinya kerusakannya ini lebih disebabkan oleh ulah manusia yang melakukan pengrusakan terumbu karang dengan cara mem-bom dan pemberian racun ketika menangkap ikan. Ini bisa dilihat dari bekas-bekas hancurnya terumbu karang. Tentu saja ini sangat disayangkan karena akan berakibat pada kerusakan ekosistem laut dan dapat menurunkan hasil tangkapan ikan dan merosotnya pendapatan para pencari ikan.

Perkembangan pembangunan dan tuntutan ekonomi secara tak langsung juga turut memberikan tekanan terhadap kehidupan terumbu karang. Selain dengan bom dan racun sianida, yang menjadi ancaman terhadap kehidupan terumbu karang adalah pengambilan karang secara langsung dan sporadis untuk bahan bangunan, pengoperasian kapal dengan pukat harimau, kegiatan penambangan pasir dan penggundulan hutan pantai yang menyebabkan tingginya sedimentasi dan pencemaran akibat pembuangan limbah industri dan rumah tangga secara langsung ke laut.

Di samping itu, pembangunan hotel dan bangunan lainnya di pinggir pantai yang sekarang mulai marak di tepian pantai Maumere akan sangat mengganggu keseimbangan dinamis pola sedimentasi pantai jika tidak diperhitungan dampak ekologisnya. Akibatnya, air menjadi keruh dan tak bagus bagi pertumbuhan karang. Jika terumbu karang rusak, tentu suatu saat nanti akan memaksa nelayan mencari ikan hingga pulau-pulau kecil yang jauh dari daratan Pulau Flores. Begitulah, terkadang tuntutan kehidupan memaksa kita untuk “tak sadarkan diri” terhadap lingkungan. Mungkin kita baru akan menyadari kalau lingkungan kita “murka” dengan caranya.

Teluk Maumere, bagian dari Laut Flores, yang penuh misteri sekaligus menawarkan sejuta pesona, yang menghadirkan ketakjuban, keharuan sekaligus kerinduan, yang menghadirkan surga, sayangnya surga itu kini sedikit demi sedikit mulai terpenggal
Desember lalu, ketika kami meninggalkan homestay di Kota Maumere, ibukota Kabupaten Sikka, Pulau Flores. Agenda kami hari itu adalah menuju kawasan pesisir pantai Kampung Wuring, titik untuk memulai penyelaman di beberapa titik di Teluk Maumere ini.

Kampung Wuring adalah sebuah perkampungan nelayan di pinggiran Kota Maumere, kurang lebih 5 Km dari pusat kota. Kampung yang mayoritas penghuninya adalah suku Bajo, suku yang lebih dikenal sebagai pelaut-pelaut ulung. Bahkan rumah yang dibangun pun persis di atas laut, dengan struktur yang sangat kuat. Apabila petang menjelang, air pasang datang yang ketinggiannya nyaris menyentuh lantai rumah. Sementara untuk menghubungkan rumah ke rumah, warga hanya memakai bambu 2-3 batang saja sebagai jembatannya. Apabila tak hati-hati, bisa-bisa tercebur masuk ke air laut.
Pagi itu ketika melintasi pemukiman ini, kami bertemu dengan beberapa peneliti dari Jepang dan Amerika yang kata orang-orang sekitar, mereka sedang menganalisis struktur bangunan rumah orang-orang Bajo ini. Demikian juga, kami bertemu dengan beberapa pasang turis bule yang menginap di rumah orang Bajo ini.

Entahlah sejak kapan Suku Bajo ini mendiami kawasan ini. Beberapa orang yang saya kenal hanya bercerita bahwa asal-usul suku Bajo dari Sulawesi yang semuanya adalah pelaut-pelaut ulung yang sulit jika hidup atau tinggal di gunung. Kata “bajo” sendiri berarti mendayung perahu dengan alat yang disebut bajo. Mereka bisa dikatakan telah menjadikan laut sebagai “nyawa” mereka. Mereka seolah menyatu dengan laut. Dan tak perlu heran jika anak-anak kecil usia 4-5 tahun sudah mahir berenang dan menyelam. Barangkali mereka telah “diajarkan” berenang sejak dalam kandungan ibundanya!

Di Maumere, selain di kampung Wuring, suku ini banyak ditemui di Pulau Parumaan, Kojadoi, Pemana, dan dalam komunitas kecil hampir dapat ditemui di seluruh penjuru pesisir Maumere. Ada “hal yang lain” yang saya temui pada suku ini, yaitu tentang sekolah (formal). Sekolah pada sebagian besar suku ini adalah nomor sekian. Kebanyakan orang tua suku Bajo berpikir bahwa sekolah sampai sarjana pun tidak mendapat tempat yang layak di birokrasi karena mereka menganggap diri dan atau dianggap sebagai pendatang. Itulah mungkin yang kami temui pagi itu. Anak-anak kecil di pagi hari pada jam yang seharusnya mereka bisa belajar di sekolah, masih asyik bermain-main (belajar) di pantai.

Surga yang Terpenggal

Teluk Maumere, sesungguhnya adalah sebuah pesona hamparan perairan yang menyimpan berjuta potensi hayati di dalamnya. Pinjam istilah Emha Ainun Nadjib, selaksa surga yang terpecah dan bocor ke bumi nusantara. Betapa tidak, terumbu karang yang terkandung di dalamnya menyimpan keindahan yang luar biasa meskipun pernah porak-poranda diterjang tsunami pada tahun 1992. Terumbu karang dengan segala kehidupan yang terdapat di dalamnya merupakan sumberdaya yang memiliki keanekaragaman biologis yang tinggi, pesona keindahan, dan menyediakan cadangan sumber plasma nutfah. Tak hanya itu, terumbu karang di laut ini juga menjadi “rumah” bagi beragam biota laut, termasuk ikan-ikan hias berwarna-warni yang berenang hilir mudik di antara karang di kedalaman sekitar dua hingga lima meter.

Dengan kata lain, terumbu karang di sini memiliki peranan yang sangat penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, terumbu karang merupakan tempat berbagai organisme yang berasosiasi dengannya untuk berlindung, mencari makan dan berkembang biak. Selain itu terumbu karang juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari gelombang dan abrasi.

Sedangkan fungsi ekonomisnya, terumbu karang yang indah bisa menjadi objek wisata bahari yang dapat menarik banyak wisatawan, sekaligus bisa dijadikan wilayah tangkapan ikan yang potensial bagi para nelayan.

Namun sayangnya, yang kami temui di bawah laut Teluk Maumere ini tidak semua terumbu karang berada dalam kondisi yang baik. Beberapa di antaranya tampak kritis, terpenggal, hancur berkeping-keping. Entah apa penyebab utamanya. Bisa jadi gempa dan gelombang tsunami besar yang terjadi pada tahun 1992 lalu menjadi penyebabnya. Namun dari pengamatan sekilas kami, sepertinya kerusakannya ini lebih disebabkan oleh ulah manusia yang melakukan pengrusakan terumbu karang dengan cara mem-bom dan pemberian racun ketika menangkap ikan. Ini bisa dilihat dari bekas-bekas hancurnya terumbu karang. Tentu saja ini sangat disayangkan karena akan berakibat pada kerusakan ekosistem laut dan dapat menurunkan hasil tangkapan ikan dan merosotnya pendapatan para pencari ikan.

Perkembangan pembangunan dan tuntutan ekonomi secara tak langsung juga turut memberikan tekanan terhadap kehidupan terumbu karang. Selain dengan bom dan racun sianida, yang menjadi ancaman terhadap kehidupan terumbu karang adalah pengambilan karang secara langsung dan sporadis untuk bahan bangunan, pengoperasian kapal dengan pukat harimau, kegiatan penambangan pasir dan penggundulan hutan pantai yang menyebabkan tingginya sedimentasi dan pencemaran akibat pembuangan limbah industri dan rumah tangga secara langsung ke laut.

Di samping itu, pembangunan hotel dan bangunan lainnya di pinggir pantai yang sekarang mulai marak di tepian pantai Maumere akan sangat mengganggu keseimbangan dinamis pola sedimentasi pantai jika tidak diperhitungan dampak ekologisnya. Akibatnya, air menjadi keruh dan tak bagus bagi pertumbuhan karang. Jika terumbu karang rusak, tentu suatu saat nanti akan memaksa nelayan mencari ikan hingga pulau-pulau kecil yang jauh dari daratan Pulau Flores. Begitulah, terkadang tuntutan kehidupan memaksa kita untuk “tak sadarkan diri” terhadap lingkungan. Mungkin kita baru akan menyadari kalau lingkungan kita “murka” dengan caranya.

Teluk Maumere, bagian dari Laut Flores, yang penuh misteri sekaligus menawarkan sejuta pesona, yang menghadirkan ketakjuban, keharuan sekaligus kerinduan, yang menghadirkan surga, sayangnya surga itu kini sedikit demi sedikit mulai terpenggal